Observasi pada Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Orthopedagogik
Dosen
Pengampu oleh Ninik Nurhidayah,
A.md,OT.,S.pd
Disusun Oleh :
Ridwan Sanjaya P 27229011074
Magdalena Yuniati P 27229011051
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN TERAPI WICARA
TA 2011/2012
Kata Pengantar
Puji syukur atas segala berkat serta karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang dilimpahkan kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini mengulas tentang
mata kuliah Orthopedagogik yang di dalamnya terdapat hasil observasi dan
pembahasan.
Tugas ini disusun untuk tugas dari mata kuliah
Orthopedagogik. Kami menyadari tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, tugas
ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
- Ibu Ninik Nurhidayah, A.Md, OT.,S.pd selaku dosen mata kuliah Orthopedagogik.
- Teman-teman satu jurusan khususnya tingkat satu dalam membantu pengumpulan bahan tugas.
- Kedua orangtua kami atas dukungan yang telah diberikan dan semangat dan motivasi dari mereka sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
- Kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan.
Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak
yang berhubungan dengan penulisan tugas ini. Sehingga dengan adanya saran dan
kritik tersebut dapat dijadikan bahan perbaikan lebih lanjut.
Akhir
kata, kami berharap semoga tugas ini
dapat berguna bagi para pembaca, khususnya kami dan Politeknik Kesehatan
Surakarta.
Surakarta, 02 November 2010
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………... ii
Daftar Isi…….…………………………………………………………………....... iv
Bab I Pendahuluan
………………………………………………………………… 1
Latar
Belakang
.............................................................................................. 1
Pembatasan
Masalah ………………………………………………………. 2
Bab II Laporan Klien………………………………………………………………. 5
Identitas Umum
Klien ……………………………………………………... 5
Riwayat Sebelum
Kelahiran……………………………………………….. 6
Riwayat
Kelahiran ………………………………………………………… 6
Riwayat Setelah
Kelahiran ………………………………………………… 7
Tanda-tanda dan Gejala……………………………………………………. 7
Riwayat Terapi atau
Pendidikan …………………………………………... 8
Bab III Kajian Teori ………………………………………………………………. 9
Faktor-faktor
Penyebab Tuna Rungu ……………………………………… 9
Klasifikasi
Penyandang Tuna Rungu ……………………………………… 10
Mendeteksi
Ketunarunguan ……………………………………………….. 12
Faktor-faktor
Penyebab Tuna Wicara ……………………………………... 13
Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada
Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu ………………………………………………………………………....................13
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara …………………………………………………………………………….......... 15
Bab III Penutup
……………………………………………………………………. 20
Kesimpulan
………………………………………………………………... 20
Daftar
Pustaka ……………………………………………………………... 22
Bab
I Pendahuluan
Latar Belakang
Masyarakat
seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya. Banyak
orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di dalam
masyarakat. Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan
diri sendiri mengakibatkan terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan
yang di kucilkan.
Menurut
Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat di
Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa
(35.8 %), tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%),
dan sisanya kurang dari 7% adalah penyandang cacat lain.
Sedangkan,
Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada setiap Negara
adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat
sesuai sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai
(3.1%) dari jumlah penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah
penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di
Indonesia adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa
(29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881
jiwa (21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai
angka 602.784 (9.9%).
Angka
602.784 jiwa tuna rungu wicara cukup
mencengangkan bagi masyarakat awam apalagi kita yang berperan sebagai terapis
wicara kelak. Perbandingan antara terapis wicara di Indonesia yang berjumlah
kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini dan penyandang tuna rungu wicara yang
mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih.
Kasus tuna rungu wicara merupakan masalah yang sering di jumpai di
masyarakat. Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara ada di
sekitar kita. Namun, kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami
kekurangan dalam segi pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan
keberadaan orang yang mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan
tentang gangguan pendengaran dan gangguan wicara perlu diperhatikan pada anak,
karena itu semua saling berkaitan dalam proses berkomunikasi. Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada
pendengarannya akan mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa
anak.
Pembatasan Masalah
Proses mendengar merupakan proses penerimaan impuls makna
dari setiap kata-kata yang terdengar. Apabila anak mengalami gangguan pendengaran,
maka kosa kata yang dimiliki sedikit dan anak tidak bisa berkomunikasi seperti
anak-anak biasa seusianya. Karena
sangat minim sekali impuls suara masuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
mendengar mempengaruhi proses bahasa dan sangat berpengaruh pada komunikasi. Proses
mendengar sangat mempengaruhi pembentukan bunyi bahasa, karena proses berbicara
dimulai dari mendengarkan lalu dilanjutkan ke sistem pada otak sehingga kita
dapat mengerti dan dapat menyampaikan makna yang diungkapkan. Proses berbicara
melalui proses fonasi, respirasi, artikulasi, resonansi (Point Of Articulation, Manner
Of Artikulation), dan pada keharmonisan motorik yaitu pada setiap kesiapan
penggunaan bagian organis, motoris, fisiologis dalam persiapan produksi bunyi.
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27)
menyatakan bahwa “Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan
karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia
tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa
dampak terhadap kehidupan secara kompleks”.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan
bahwa: “Anak tuna rungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar
bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara
karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, “A deaf
person is one’s hearing disabled to an extend usually 70 dB ISO or greater that
precludes the understanding of speech through the ear alone, with or without
the use of hearing disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make
difficult but he does the understanding a speech through the ear alone, without
or with a hearing aid.”
Sedangkan sebagian tuna wicara adalah mereka yang
menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap
pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya
meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Begitu juga seperti observasi yang telah kami lakukan pada
klien kami yang mengalami gangguan pendengaran dan otomatis ia juga mengalami
mengalami gangguan pada bicaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tuna rungu
dan tuna wicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik
sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan
alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga tidak mampu
mengembangkan kemampuan bicaranya.
Bab
II
Laporan
Klien
Identitas Umum Klien
Nama
klien yang kami Erfan Apritriyanto,
ia merupakan anak yang aktif dan bersemangat layaknya anak-anak lainnya. Ia
sering di panggil dengan
Erfan. Ia lahir tigabelas tahun lalu di
kota Surakarta, tepatnya pada 28 April 1998 . Ia merupakan buah hati dari
pasangan Hasto Mulyadi dan Sartini. Mereka memlikiki empat orang anak, yang
pertama telah lulus sekolah dan sekarang telah bekerja namanya adalah Bayu,
yang kedua sedang meneruskan sekolahnya di SMK seni di Kota Surakarta namanya adalah
Asep Dwiyanto, yang ke tiga merupakan klien kami ini yang bernama Erfan
Apritryanto dan yang terakhir adalah Syifa yang berusia masih balita dan
sekarang mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak di sekitar rumahnya.
Klien kami kali merupakan anak yang riang dan mudah
berbaur dengan orang lain. Namun, apabila ia baru saja mengenal orang yang
belum di kenalnya, ia cenderung untuk diam dan berkesan tidak menunjukan bahwa
ia memiliki gangguan pada pendengarannya dan dengan pasti juga gangguan dari cara
ia berkomunikasi. Ia sering berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, bahasa
tulis karena ia di sekolahkan di SLB-B YRT RW dan sekarang ia duduk di kelas 6
SD di institusi tersebut. Ia kadang berangkat sekolah menggunakan sepedanya
walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Namun, kadang-kadang ia di antarkan oleh
kedua kakaknya. Klien kami merupakan klien yang mandiri dan bisa melakukan
segala aktifitasnya sendiri. Klien kami merupakan pribadi yang selalu aktif dan
mudah di ajak, mudah pula bersosialisasi dengan orang yang sebaya dengannya
atau yang lebih dewasa dengannya atau yang lebih muda. Tapi tidak semua anak
yang memiliki kebutuhan khusus mudah untuk berbaur dengan lingkungannya. Kadang
anak yang memiliki kebutuhan khusus cenderung malu dan minder pada orang lain
yang baru maupun yang telah lama ia kenal , tetapi sangat berlainan dengan anak
ini ketika saya pernah tinggal dirumahnya.
Riwayat Sebelum Kelahiran
Berdasar pada
ujaran orangtua klien,
anak mereka dalam kondisi yang baik-baik saja ketika masih di dalam kandungan
ibunya. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat. Tidak ada
gejala-gejala yang menunjukan secara pasti tentang keadaan anak
mereka saat ini sebelum kelahiran.
Riwayat Kelahiran
Pada proses kelahiran, keadaan anak lahir secara normal
seperti pada anak-anak normal lainnya. Tetapi ketika mulai menginjak usia satu
tahun, orangtua mulai merasakan akan adanya keadaan tersebut. Anak mereka tidak
merespon bunyi-bunyi suara ketika dilakukan pemanggilan atau dengan cara lain
untuk mengetahui keadaan pendengaran anak. Namun, hasilnya anak mereka
mengalami gangguan pada pendengarannya.
Riwayat Setelah Kelahiran
Ketika orangtua tahu bahwa anak mereka mengalami gangguan pendengaran, maka mereka segera bertindak cepat untuk
melarikan anak mereka ke dokter spesialis THT untuk memeriksaan keberadaan
pendengarannya. Menurut dokter tersebut, anak mereka hanya memiliki daun
telinga saja. Organ-organ pendengaran pendukung pada bagian dalam tidak ada.
Tetapi Keadaan anak pada saat ini tidak ada riwayat penyakit pada klien yang
berhubungan dengan keadaanya sekarang.
Anak dalam kondisi yang sehat dan tampak seperti anak normal seusianya,
namun ia memiliki gangguan pada pendengarannya yang mempengaruhi pada proses
perolehan bahasa, sehingga menggangu fungsi bicaranya walaupun semua organ
bicaranya dalam keadaan normal.
Tanda-Tanda dan Gejala
Tanda-tanda pada klien
antara lain terjadinya pendengaran dan bicara yang terganggu sehingga susah untuk
berkomunikasi, sehingga di dalam berkomunikasi klien bisa menggunakan tulisan
agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya.
Namun kondisi fisik dan mental pada klien sama seperti anak –anak seusianya
yang tidak ada kelainan pada dirinya, bahkan klien pandai sekali menggunakan
telpon seluler untuk berkomunikasi seperti SMS dan klien pandai menggunakan jejaring sosial
seperti Facebook. Namun apabila ia
berusaha untuk mengucapkan sesuatu, ia cenderung seperti teriakan-teriakan dan
sengau.
Riwayat Terapi atau Pendidikan
Klien pernah mengunjungi
Dokter-dokter spesialis, Asrama tuna rungu, terapis wicara, Pengobatan
alternatif dan sekarang klien sedang
mengenyam pendidikan di SLB B di YRT RW dan sekarang duduk di kelas 6. Karena orangtua
mereka merasakan lebih baik memberikan pendidikan untuk anak mereka daripada
memberikan terapi-terapi khusus bagi anak mereka, karena sudah bertahun-tahun
mereka melakukan terapi pada anak mereka, namun tidak menunjukan perubahan yang
signifikan pada anak mereka setelah sekian lama melakukan terapi.
Bab
III Kajian Teori
Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu
Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan
faktor-faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai berikut:
Faktor-faktor
sebelum anak dilahirkan (Pre Natal). Faktor-faktor
penyebab ketunarunguan ketika anak belum dilahirkan diantaranya karena faktor
keturunan (Hereditas), cacat air atau
yang biasa disebut campak (Rubella,
Geuman measles), terjadinya keracunan darah (Toxaemia), penggunaan obat-obatan yang melampaui batas seperti
penggunaan pilkina dalam jumlah yang besar, kekurangan oksigen (Hipoxia), dan
terjadi karena kelainan pada organ pendengaran sejak lahir.
Faktor-faktor saat
anak dilahirkan (Natal).
Faktor-faktor penyebab ketunarunguan pada saat anak dilahirkan
diantaranya karena faktor Rheus (Rh)
ibu dan anak yang sejenis, anak yang lahir sebelum waktunya (pre mature), anak lahir menggunakan alat
bantu tang (forcep), dan proses
kelahiran yang terlalu lama dapat mengakibatkan anak menjadi tuna rungu.
Faktor-faktor
sesudah anak dilahirkan (Past Natal).
Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak sudah
dilahirkan diantaranya karena terjadinya infeksi pada bagian-bagian organ
pendengarannya, peradangan pada selaput otak (Meningitis), tuna rungu perseptif yang bersifat keturunan, dan
Otitis media yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya ketunarunguan.
Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu
Menurut
Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan sebagai berikut :
Berdasarkan
bagian alat pendengaran. Klasifikasi
ketunarunguan berdasar pada bagian alat pendengarannya yang rusak dapat
dijelaskan kembali menjadi tiga bagian , yaitu tuna rungu konduktif, tuna rungu
perseptif, dan gejala tuna rungu campuran (kombinasi ketunarunguan konduktif
dan perseptif).
Berdasarkan kelainan pendengaran. Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu kelainan pendengaran conductive lasses, sensory neural or perceptive losses, dan central deafness.
Berdasarkan
gradasi atau tingkatan. Kelainan
jenis ini di bagi lagi menjadi enam bagian pada etiologis, anatomi dan
fisiologis ukuran nada . Tuna rungu sangat ringan (0-25
dB), tuna rungu rimgan (30-40dB),tuna rungu
sedang (40-60 dB), tuna rungu berat (60-70 dB), tuli berat (70 dB dan lebih parah ), dan pada
tingkatan paling akut atau total deafness (tuli total).
Berdasarkan
kemampuan mengerti bahasa. Kelainan
ini berdasarkan pada kemampuan mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan dengan
gangguan bicara dan bahasa. 20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada
hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa menjadi
terlambat. 35-55 dB (mild to moderate
hearing impairment) ada beberapa kesulitan artikulasi, perkembangan kata
mungkin tidak sempurna. 55-70 dB (moderate
hearing impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata
mungkin tidak sempurna. 70-90 dB (severe
hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan
aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment) ritme bicara, suara dan
artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus dikembangkan secara intensif dan
seksama. 100 dB atau lebih (profound
hearing impairment) sangat perlu bantuan tentang keberadaan pendengarannya,
tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran.
Menurut Uden (1997) dalam Murni
Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi
tiga bagian yaitu :
Berdasarkan
saat terjadinya. Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan,
diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan dan ketunarunguan
setelah lahir.
Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan
ketunarungguan disandang ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu dan indera pendengarannya sudah tidak
berfungsi lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi ketunarunguan
setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu penyakit.
Berdasarkan
tempat kerusakan. Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu
kerusakan pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian
konduktif yang mengakibatkan menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada
bagian telinga dalam yang menyerang pada bagian sensori neural yang
mengakibatkan kerusakan pendengaran pada bagian persepsinya atau yang sering
disebut tuli sensoris.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasa. Kalsifikasi
ini membagi ketunarunguan menjadi dua, yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna
bahasa. Ketunarunguan pra bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi pada mereka
yang mengalami tuna rungu ketika belum terkuasainya bahasa. Sedangkan tuli
purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi setelah mereka mengenal bahasa
dan telah menguasainya dan telah menerapkannya dalam kehidupannya yang berlaku
dilingkungannya.
Mendeteksi Ketunarunguan
Sardjono (2000, hal. 48) juga menjelaskan ada beberapa
cara untuk mendeteksi terjadinya kelainan pendengaran seseorang. Ada pun
tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kelainan tersebut antara lain :
Tes bisik (Whisper test). Tes ini
dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak anak dan pemeriksa
antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu telinga
dihadapkan ke
arah pemeriksa
dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus diterima anak.
Tes detik jam. Tes ini
dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan menghitung jarak dimana
anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut, dilakukan secara
bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan dengan
pemeriksa (pendengaran pemeriksa harus normal).
Tes suara. Tes ini
dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran dengan
melakukan tes pertama dan kedua. Tes
ini dilakukan dengan cara memanggil anak itu dari belakang atau membunyikan
sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel, suara pecahan piring dan
lain lain.
Tes mendengar
suara. Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi
binatang seperti kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak
diharuskan untuk menyebutkan nama nama binatang tersebut.
Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara
Faktor yang
bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang
terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua,
keracunan makanan, penyakit Tetanus
Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena
pertolongan persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada
saluran pernafasan bagian atas (Difteri).
Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada
Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu
Menurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48),
”Pada umunya pendengaran anak tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata, sulit
mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata-
kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa”.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam
pendidikannya, yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran
atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam
menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua,
akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu
akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang
terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).
Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi
seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab
pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas
perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum
terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu
sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari
aspek kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah
pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program
pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan
bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini
pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab
masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda.
Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna
rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: “miskin
dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata
yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber
masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.”
Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya
mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci
utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha
yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah dengan cepat
adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan disediakan program-program
khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi
Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna
Wicara
Menurut
Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif
bagi siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara.
Metode manual. Metode manual terdisir dua komponen dasar,
yaitu bahasa isyarat (sign language)
dan finger spelling.
Bahasa isyarat. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang
dibakukan merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama tuna rungu dan tuna wicara ataupun
komunikasi tuna rungu dan tuna wicara di
dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi
seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa
kata bahasa Indonesia.
Isyarat
yang dikembangkan di indonesia secara umum mengikuti tata/aturan isyarat
sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek linguistik bahasa isyarat.
Berikut adalah contoh bahasa isyarat.
Gambar 1. Bahasa isyarat
Keterangan : Bahasa
Isyarat yang bermakna I Love You
Abjad Jari (Finger Spelling/Finger
Alphabet).
Secara harafiah, abjad jari merupakan usaha untuk menggambarkan alpabet
secara manual dengan menggunakan satu tangan. Berikut adalah contoh abjad jari:
Gambar 2. Abjad
jari
Keterangan: Abjad jari dari A-Z
Abjad jari adalah isyarat yang dibentuk dengan jari-jari
tangan (tangan kanan atau tangan kiri) untuk mengeja huruf atau angka. Bentuk
isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa dengan International
Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan nama diri,
mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang belum ada
isyaratnya.
Metode oral. Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan
ucapan dan pembacaan ucapan. Para pendidik kebutuhan khusus yang setuju dengan
metode ini memandang bahwa ketergantungan pada bahasa isyarat dan abjad jari
membuat eksklusi penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Kurangnya orang yang
tertarik untuk menggunakan dan memahami komunikasi manusia juga
seakan-akan mebatasi mereka yang menggunakan metode ini sebagai alat
utama komunikasinya.
Metode
oral membantu siswa untuk lebih memahami ucapan orang lain. Siswa akan dilatih
untuk memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami
apa yang sedang diucapkan. Penyandang tuna rungu juga diajari cara
membaca isyarat-isyarat seperti ekspresi wajah yang akan memudahkan mereka
berkomunikasi.
Metode komunikasi
total. Metode
komunikasi total ada penggabungan kedua metode sebelumnya. Metode ini
dipopulerkan oleh lembaga Maryland School for the Deaf. Lembaga ini membuat
gerakan dengan menghapuskan perbedaan teoritis dan metodologis antara
pendekatan oral dan manual.
Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang
lengkap, membedakan gerakan/mimic tubuh anak, bahasa isyarat yang formal,
belajar berbicara, membaca ucapan, abjad jari, serta belajar membaca dan
menulis. Dengan komunikasi total, anak tuna rungu dan tuna wicara memiliki
kesempatan untuk mengembangkan dirinya.
Lebih lanjut, Bastable (1997) juga memberikan pendapat
yang sama. Menurutnya, strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna
rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir,
verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Dari dua pandangan tersebut dapat dilihat bahwa dalam
strategi pembelajaran untuk anak tuna rungu. Keberhasilannya dipengaruhi oleh
keahlian, kerjasama, keluarga, teman, dan tim ahli. Dalam hal ini orangtua
menjadi dasar, sekali mereka memutuskan anak mereka untuk mulai belajar
mendengar dan dan berbicara, maka mereka menjadi ketua dalam “proyek” tersebut.
Secara umum, rekan-rekan yang dapat membantu orangtua dalam hal ini seperti
Audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna
wicara, guru, terapi wicara, fisio terapi dan lingkungannya.
Untuk mengatasi masalah tuna rungu
dan tuna wicara bagi Terapis Wicara antara lain dengan melakukan melakukan Assessment (observasi) pada anak agar mengetahui secara pasti
tentang gangguan yang dimiliki. Lalu melakukan Diagnosa atau penentuan gangguan
yang dimiliki berdasar hasil observasi. Lalu melakukan prognosis atau
perbandingan terhadap bahasa, bicara, irama, kelancaran suara dan menelan. Lalu
mulai masuk pada proses terapi yang akan dilakukan dan telah melakukan berbagai persiapan
organis, fisiologis, neurologis, psikologis dan environtment pada anak yang
mengalami gangguan pada pendengarannya, lalu melakukan habilitasi pendengaran
atau memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya dimiliki seseorang,
khususnya pada bayi atau pada anak yang belum memiliki pengalaman atau kemampuan
mendengar sebelumnya.
Pemberian kemampuan pendengaran dilakukan dengan berbagai
cara yaitu dengan Amplikasi
(Pengerasan suara), Auditory training
(Latihan mendengar), dan latihan wicara. Lalu melakukan latihan penggerakan
organ bicara (oral motor exercise),
melatih anak dengan cara membaca bahasa bibir (lip reading), latihan
penempatan articulator dan melakukan berbagai terapi kearah yang akan dicapai
sehubungan dengan gejala dan berhubungan dengan nilai bahasa dan bicara.
Anak
yang mengalami gangguan pendengaran sebaiknya di lakukan latihan-latihan mendengar
dan latihan wicara pada ahli terapi wicara. Selain dilakukannya terapai, anak
sebaiknya di sekolahkan di sekolsh-sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus
untuk menunjang bakat dan minat anak tersebut di masa yang akan datang. Peran
serta keluarga dan lingkunganpun sedikit banyak membantu proses
perehabilitasian pada anak tersebut agar anak tersebut dapat berkembang secara
cepat dan memiliki kemampuan seperti layaknya anak normal seperti
lazimnya.
Bab III Penutup
Kesimpulan
Tuna rungu dan tuna wicara adalah suatu bagian yang
saling berkaitan. Tuna rungu akan mengakibatkan tuna wicara apabila tidak ada
bahasa yang dikuasai sebelumnya sehingga anak yang mengalami tuna rungu identik
dengan tuna wicara. Tuna rungu pun belum tentu bisa dipastikan tuna wicara
karena ketunarunguan dialami ketika anak sudah mengenal bahasa dan apat
disosiasikan sehingga ia bisa menerapkan , memahami dan mengaplikasikan setiap
kata yang telah ia miliki dengan kata-kata baru yang belum sempat ia miliki.
Anak yang menderita ketunarunguan memliliki postur tubuh
normal dan memiliki intelegensi seperti anak-anak normal lainya namun memiliki
kekurangan pada pendengarannya dan kosa kata yang dia miliki cukup kurang anak
yang menderita ketunarunguan mengalami keterlambatan bahasa, sehingga sering
menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi sehingga kurang bahkan tidak
tanggap jika diajak untuk berkomunikasi, dan memiliki ucapan kata yang tidak
jelas dan cenderung sengau.
Tuna rungu dapat dibantu dengan menghadirkan kepadanya
ahli-ahli yang menjadi ruang lingkup ketunarunguan seperti audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna
rungu dan tuna wicara, guru, speech
therapist, physico therapist, dan semua orang yang berada dilingkungannya
karena hal itu cukup berpengaruh. Strategi pendidikan yang cocok bagi
penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat,
membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Karena anak yang mengalami kekurangan biasanya kurang
percaya diri, sehingga mengalami keterlambatan bicarasehingga cenderung mengasingkan diri dan diasingkan oleh
orang disekitarnya dan keluarganya. Sebaiknya anak yang mengalami kekurangan
diajak bergabung dan bersosialisasi agar memudahakan kondianak untuk
beradaptasi, dan tidak merasa minder dengan kekurangan yang dimilikinya
sehingga faktor lingkungan
cukup berpengaruh dalam optimalisasi pada anak yang mengalami kekurangan pada
pendengarannya.
Daftar Pustaka
http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/798
Bastable,
S. (1997). Nurse as Educator: Principles
of Teaching and Learning. Boston: Jones and Bartlett Publishers.
Geniofam. (2010). Mengasuh
& Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Garailmu.
Moories,
D.F. (1991). Educational the Deaf:
Psychology, Principle and Practice. Boston: Houghton Mifhin Company
Prentice Hall Inc.
Sardjono.
(1997). Orthopaedagogik Tuna Rungu I
(Seri Pendidikan bagi Anak Tunarungu. Surakarta: UNS Press.
Sardjono. (2000). Orthopaedagogik Anak Tunarungu. Surakarta: UNS press.
Somad,
P; Herawati, Tati. (1996). Ortopedagogik
Anak Tunarungu. Bandung. Depdikbud.
Winarsih,
Murni. (2007). Interverensi Dini Bagi
Anak Tuna Rungu Dalam Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Direktorat.