Minggu, 11 Maret 2012



Observasi pada Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara
  

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Orthopedagogik
                                    Dosen Pengampu  oleh Ninik Nurhidayah, A.md,OT.,S.pd



Disusun Oleh :


Ridwan Sanjaya                    P 27229011074
Magdalena  Yuniati               P 27229011051







POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN TERAPI WICARA
   TA 2011/2012  
Kata Pengantar


Puji syukur atas segala berkat serta karunia Tuhan Yang Maha Esa  yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini mengulas tentang mata kuliah Orthopedagogik yang di dalamnya terdapat hasil observasi dan pembahasan.

Tugas ini disusun untuk tugas dari mata kuliah Orthopedagogik. Kami menyadari tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih  kepada:

  1. Ibu Ninik Nurhidayah, A.Md, OT.,S.pd selaku dosen mata kuliah Orthopedagogik.
  2. Teman-teman satu jurusan khususnya tingkat satu dalam membantu pengumpulan bahan tugas.
  3. Kedua orangtua kami atas dukungan yang telah diberikan dan semangat dan motivasi dari mereka sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
  4. Kepada semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Dalam penyusunan tugas ini terdapat banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan penulisan tugas ini. Sehingga dengan adanya saran dan kritik tersebut dapat dijadikan bahan perbaikan lebih lanjut.



            Akhir kata,  kami berharap semoga tugas ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya kami dan Politeknik Kesehatan Surakarta.



Surakarta,  02 November 2010





                                                                                                            Penulis


Daftar Isi


Kata Pengantar……………………………………………………………………... ii
Daftar Isi…….…………………………………………………………………....... iv
Bab I Pendahuluan …………………………………………………………………  1
            Latar Belakang .............................................................................................. 1
            Pembatasan Masalah ………………………………………………………. 2
Bab II Laporan Klien………………………………………………………………. 5
Identitas Umum Klien ……………………………………………………...  5
Riwayat Sebelum Kelahiran……………………………………………….. 6
Riwayat Kelahiran ………………………………………………………… 6
Riwayat Setelah Kelahiran ………………………………………………… 7
Tanda-tanda dan Gejala……………………………………………………. 7
Riwayat Terapi atau Pendidikan …………………………………………... 8
Bab III Kajian Teori ………………………………………………………………. 9
            Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu ………………………………………  9
            Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu ……………………………………… 10
            Mendeteksi Ketunarunguan ……………………………………………….. 12
            Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara ……………………………………... 13
            Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara  Dan Tuna Rungu ………………………………………………………………………....................13
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi  Penyandang Tuna Rungu  Dan Tuna Wicara …………………………………………………………………………….......... 15

Bab III Penutup ……………………………………………………………………. 20
            Kesimpulan ………………………………………………………………... 20
            Daftar Pustaka ……………………………………………………………... 22

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang
Masyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam dirinya. Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di dalam masyarakat. Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan diri sendiri mengakibatkan terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan yang di kucilkan.
Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat di Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa (35.8 %), tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang dari 7% adalah penyandang cacat lain.
Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada setiap Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat sesuai sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai (3.1%) dari jumlah penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%).
Angka 602.784  jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat awam apalagi kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara terapis wicara di Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini dan penyandang tuna rungu wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih.  Kasus tuna rungu wicara merupakan masalah yang sering di jumpai di masyarakat. Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara ada di sekitar kita. Namun, kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami kekurangan dalam segi pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan keberadaan orang yang mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan tentang gangguan pendengaran dan gangguan wicara perlu diperhatikan pada anak, karena itu semua saling berkaitan dalam proses berkomunikasi.  Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya akan mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa anak.

Pembatasan Masalah

Proses mendengar merupakan proses penerimaan impuls makna dari setiap kata-kata yang terdengar. Apabila anak mengalami gangguan pendengaran, maka kosa kata yang dimiliki sedikit dan anak tidak bisa berkomunikasi seperti anak-anak biasa seusianya. Karena sangat minim sekali impuls suara masuk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses mendengar mempengaruhi proses bahasa dan sangat berpengaruh pada komunikasi. Proses mendengar sangat mempengaruhi pembentukan bunyi bahasa, karena proses berbicara dimulai dari mendengarkan lalu dilanjutkan ke sistem pada otak sehingga kita dapat mengerti dan dapat menyampaikan makna yang diungkapkan. Proses berbicara melalui proses fonasi, respirasi, artikulasi, resonansi (Point Of Articulation, Manner Of Artikulation), dan pada keharmonisan motorik yaitu pada setiap kesiapan penggunaan bagian organis, motoris, fisiologis dalam persiapan produksi bunyi.
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa “Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks”.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tuna rungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, “A deaf person is one’s hearing disabled to an extend usually 70 dB ISO or greater that precludes the understanding of speech through the ear alone, with or without the use of hearing disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make difficult but he does the understanding a speech through the ear alone, without or with a hearing aid.”
Sedangkan sebagian tuna wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Begitu juga seperti observasi yang telah kami lakukan pada klien kami yang mengalami gangguan pendengaran dan otomatis ia juga mengalami mengalami gangguan pada bicaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tuna rungu dan tuna wicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.


Bab II  
Laporan Klien

Identitas Umum Klien
Nama klien yang kami Erfan Apritriyanto, ia merupakan anak yang aktif dan bersemangat layaknya anak-anak lainnya. Ia sering di panggil dengan Erfan. Ia lahir tigabelas tahun lalu di kota Surakarta, tepatnya pada 28 April 1998 . Ia merupakan buah hati dari pasangan Hasto Mulyadi dan Sartini. Mereka memlikiki empat orang anak, yang pertama telah lulus sekolah dan sekarang telah bekerja namanya adalah Bayu, yang kedua sedang meneruskan sekolahnya di SMK seni di Kota Surakarta namanya adalah Asep Dwiyanto, yang ke tiga merupakan klien kami ini yang bernama Erfan Apritryanto dan yang terakhir adalah Syifa yang berusia masih balita dan sekarang mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak di sekitar rumahnya.
            Klien kami kali merupakan anak yang riang dan mudah berbaur dengan orang lain. Namun, apabila ia baru saja mengenal orang yang belum di kenalnya, ia cenderung untuk diam dan berkesan tidak menunjukan bahwa ia memiliki gangguan pada pendengarannya dan dengan pasti juga gangguan dari cara ia berkomunikasi. Ia sering berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, bahasa tulis karena ia di sekolahkan di SLB-B YRT RW dan sekarang ia duduk di kelas 6 SD di institusi tersebut. Ia kadang berangkat sekolah menggunakan sepedanya walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Namun, kadang-kadang ia di antarkan oleh kedua kakaknya. Klien kami merupakan klien yang mandiri dan bisa melakukan segala aktifitasnya sendiri. Klien kami merupakan pribadi yang selalu aktif dan mudah di ajak, mudah pula bersosialisasi dengan orang yang sebaya dengannya atau yang lebih dewasa dengannya atau yang lebih muda. Tapi tidak semua anak yang memiliki kebutuhan khusus mudah untuk berbaur dengan lingkungannya. Kadang anak yang memiliki kebutuhan khusus cenderung malu dan minder pada orang lain yang baru maupun yang telah lama ia kenal , tetapi sangat berlainan dengan anak ini ketika saya pernah tinggal dirumahnya.
Riwayat Sebelum Kelahiran
            Berdasar pada ujaran orangtua klien, anak mereka dalam kondisi yang baik-baik saja ketika masih di dalam kandungan ibunya. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan sehat. Tidak ada gejala-gejala yang menunjukan secara pasti tentang keadaan anak mereka saat ini sebelum kelahiran.
Riwayat Kelahiran
Pada proses kelahiran, keadaan anak lahir secara normal seperti pada anak-anak normal lainnya. Tetapi ketika mulai menginjak usia satu tahun, orangtua mulai merasakan akan adanya keadaan tersebut. Anak mereka tidak merespon bunyi-bunyi suara ketika dilakukan pemanggilan atau dengan cara lain untuk mengetahui keadaan pendengaran anak. Namun, hasilnya anak mereka mengalami gangguan pada pendengarannya.


Riwayat Setelah Kelahiran
Ketika orangtua tahu bahwa anak mereka mengalami gangguan pendengaran, maka mereka segera bertindak cepat untuk melarikan anak mereka ke dokter spesialis THT untuk memeriksaan keberadaan pendengarannya. Menurut dokter tersebut, anak mereka hanya memiliki daun telinga saja. Organ-organ pendengaran pendukung pada bagian dalam tidak ada. Tetapi Keadaan anak pada saat ini tidak ada riwayat penyakit pada klien yang berhubungan dengan keadaanya sekarang.  Anak dalam kondisi yang sehat dan tampak seperti anak normal seusianya, namun ia memiliki gangguan pada pendengarannya yang mempengaruhi pada proses perolehan bahasa, sehingga menggangu fungsi bicaranya walaupun semua organ bicaranya dalam keadaan normal.
Tanda-Tanda dan Gejala
Tanda-tanda  pada klien antara lain terjadinya pendengaran dan bicara yang terganggu sehingga susah untuk berkomunikasi, sehingga di dalam berkomunikasi klien bisa menggunakan tulisan agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya.   Namun kondisi fisik dan mental pada klien sama seperti anak –anak seusianya yang tidak ada kelainan pada dirinya, bahkan klien pandai sekali menggunakan telpon seluler untuk berkomunikasi seperti SMS dan  klien pandai menggunakan jejaring sosial seperti Facebook.  Namun apabila ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu, ia cenderung seperti teriakan-teriakan dan sengau.


Riwayat Terapi atau Pendidikan
            Klien pernah mengunjungi Dokter-dokter spesialis, Asrama tuna rungu, terapis wicara, Pengobatan alternatif  dan sekarang klien sedang mengenyam pendidikan di SLB B di YRT RW dan sekarang duduk di kelas 6. Karena orangtua mereka merasakan lebih baik memberikan pendidikan untuk anak mereka daripada memberikan terapi-terapi khusus bagi anak mereka, karena sudah bertahun-tahun mereka melakukan terapi pada anak mereka, namun tidak menunjukan perubahan yang signifikan pada anak mereka setelah sekian lama melakukan terapi.

Bab III Kajian Teori

Faktor-faktor Penyebab Tuna Rungu
Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai berikut:
Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (Pre Natal). Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak belum dilahirkan diantaranya karena faktor keturunan (Hereditas), cacat air atau yang biasa disebut campak (Rubella, Geuman measles), terjadinya keracunan darah (Toxaemia), penggunaan obat-obatan yang melampaui batas seperti penggunaan pilkina dalam jumlah yang besar, kekurangan oksigen (Hipoxia), dan terjadi karena kelainan pada organ pendengaran sejak lahir.
Faktor-faktor saat anak dilahirkan (Natal).  Faktor-faktor penyebab ketunarunguan pada saat anak dilahirkan diantaranya karena faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis, anak yang lahir sebelum waktunya (pre mature), anak lahir menggunakan alat bantu tang (forcep), dan proses kelahiran yang terlalu lama dapat mengakibatkan anak menjadi tuna rungu.
Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (Past Natal).  Faktor-faktor penyebab ketunarunguan ketika anak sudah dilahirkan diantaranya karena terjadinya infeksi pada bagian-bagian organ pendengarannya, peradangan pada selaput otak (Meningitis), tuna rungu perseptif yang bersifat keturunan, dan Otitis media yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya ketunarunguan.


Klasifikasi Penyandang Tuna Rungu
            Menurut Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan sebagai berikut :
            Berdasarkan bagian alat pendengaran.  Klasifikasi ketunarunguan berdasar pada bagian alat pendengarannya yang rusak dapat dijelaskan kembali menjadi tiga bagian , yaitu tuna rungu konduktif, tuna rungu perseptif, dan gejala tuna rungu campuran (kombinasi ketunarunguan konduktif dan perseptif).
             Berdasarkan kelainan pendengaran.  Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu kelainan pendengaran conductive lasses, sensory neural or perceptive losses, dan central deafness.
            Berdasarkan gradasi atau tingkatan.  Kelainan jenis ini di bagi lagi menjadi enam bagian pada etiologis, anatomi dan fisiologis ukuran nada . Tuna rungu sangat ringan (0-25 dB), tuna rungu rimgan (30-40dB),tuna rungu sedang (40-60 dB), tuna rungu berat (60-70 dB),  tuli berat (70 dB dan lebih parah ), dan pada tingkatan paling akut atau total deafness (tuli total).
            Berdasarkan kemampuan mengerti bahasa.  Kelainan ini berdasarkan pada kemampuan mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan dengan gangguan bicara dan bahasa.  20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa menjadi terlambat. 35-55 dB (mild to moderate hearing impairment) ada beberapa kesulitan artikulasi, perkembangan kata mungkin tidak sempurna. 55-70 dB (moderate hearing impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tidak sempurna. 70-90 dB (severe hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat dan aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing impairment) ritme bicara, suara dan artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus dikembangkan secara intensif dan seksama. 100 dB atau lebih (profound hearing impairment) sangat perlu bantuan tentang keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran.
            Menurut Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga bagian yaitu :
            Berdasarkan saat terjadinya. Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan dan ketunarunguan setelah lahir.
Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan ketunarungguan disandang ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu  dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi ketunarunguan setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu penyakit.
            Berdasarkan tempat kerusakan. Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu kerusakan pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian konduktif yang mengakibatkan menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada bagian telinga dalam yang menyerang pada bagian sensori neural yang mengakibatkan kerusakan pendengaran pada bagian persepsinya atau yang sering disebut tuli sensoris.
            Berdasarkan taraf penguasaan bahasa. Kalsifikasi ini membagi ketunarunguan menjadi dua, yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna bahasa. Ketunarunguan pra bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi pada mereka yang mengalami tuna rungu ketika belum terkuasainya bahasa. Sedangkan tuli purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi setelah mereka mengenal bahasa dan telah menguasainya dan telah menerapkannya dalam kehidupannya yang berlaku dilingkungannya.
Mendeteksi Ketunarunguan
Sardjono (2000, hal. 48) juga menjelaskan ada beberapa cara untuk mendeteksi terjadinya kelainan pendengaran seseorang. Ada pun tes-tes yang diberikan untuk mengetahui kelainan tersebut antara lain :
Tes bisik (Whisper test). Tes ini dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak anak dan pemeriksa antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu telinga dihadapkan ke arah pemeriksa dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus diterima anak.
Tes detik jam. Tes ini dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan menghitung jarak dimana anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut, dilakukan secara bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan dengan pemeriksa (pendengaran pemeriksa harus normal).
Tes suara. Tes ini dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran dengan melakukan tes pertama dan kedua. Tes ini dilakukan dengan cara memanggil anak itu dari belakang atau membunyikan sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel, suara pecahan piring dan lain lain.
Tes mendengar suara. Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi binatang seperti kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak diharuskan untuk menyebutkan nama nama binatang tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Tuna Wicara
Faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua, keracunan makanan, penyakit Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena pertolongan persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas (Difteri).
Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu
Menurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), ”Pada umunya pendengaran anak tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa”.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).
Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda.
Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: “miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu  dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
Pendekatan Pengajaran Alternatif Bagi  Penyandang Tuna Rungu  Dan Tuna Wicara
            Menurut Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara.
Metode manual.  Metode manual terdisir dua komponen dasar, yaitu bahasa isyarat (sign language) dan finger spelling.
Bahasa isyarat.  Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang dibakukan merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama  tuna rungu dan tuna wicara ataupun komunikasi  tuna rungu dan tuna wicara di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa kata bahasa Indonesia.
            Isyarat yang dikembangkan di indonesia secara umum mengikuti tata/aturan isyarat sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek linguistik bahasa isyarat. Berikut adalah contoh bahasa isyarat.





Gambar 1. Bahasa isyarat
Keterangan : Bahasa Isyarat yang bermakna I Love You
                      http://bahansekolahminggu.files.wordpress.com/2010/07/i-love-you.jpg

Abjad Jari (Finger Spelling/Finger Alphabet).  Secara harafiah, abjad jari merupakan usaha untuk menggambarkan alpabet secara manual dengan menggunakan satu tangan. Berikut adalah contoh abjad jari:

Gambar 2. Abjad jari
Keterangan:     Abjad jari dari A-Z

Abjad jari adalah isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan (tangan kanan atau tangan kiri) untuk mengeja huruf atau angka. Bentuk isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa dengan International Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan nama diri, mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang belum ada isyaratnya.
Metode oral.  Pendekatan oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan pembacaan ucapan. Para pendidik kebutuhan khusus yang setuju dengan metode ini memandang bahwa ketergantungan pada bahasa isyarat dan abjad jari membuat eksklusi penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Kurangnya orang yang tertarik untuk menggunakan dan memahami komunikasi manusia juga seakan-akan  mebatasi mereka yang menggunakan metode ini sebagai alat utama komunikasinya.
            Metode oral membantu siswa untuk lebih memahami ucapan orang lain. Siswa akan dilatih untuk memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan. Penyandang tuna rungu juga diajari  cara membaca isyarat-isyarat seperti ekspresi wajah yang akan memudahkan mereka berkomunikasi.
Metode komunikasi total.   Metode komunikasi total ada penggabungan kedua metode sebelumnya. Metode ini dipopulerkan oleh lembaga Maryland School for the Deaf. Lembaga ini membuat gerakan dengan menghapuskan perbedaan teoritis dan metodologis antara pendekatan oral dan manual.
Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang lengkap, membedakan gerakan/mimic tubuh anak, bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan, abjad jari, serta belajar membaca dan menulis. Dengan komunikasi total, anak tuna rungu dan tuna wicara memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya.
Lebih lanjut, Bastable (1997) juga memberikan pendapat yang sama. Menurutnya, strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Dari dua pandangan tersebut dapat dilihat bahwa dalam strategi pembelajaran untuk anak tuna rungu. Keberhasilannya dipengaruhi oleh keahlian, kerjasama, keluarga, teman, dan tim ahli. Dalam hal ini orangtua menjadi dasar, sekali mereka memutuskan anak mereka  untuk mulai belajar mendengar dan dan berbicara, maka mereka menjadi ketua dalam “proyek” tersebut. Secara umum, rekan-rekan yang dapat membantu orangtua dalam hal ini seperti Audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna wicara, guru, terapi wicara, fisio terapi dan lingkungannya.
            Untuk mengatasi masalah tuna rungu dan tuna wicara bagi Terapis Wicara antara lain dengan  melakukan melakukan Assessment (observasi) pada anak agar mengetahui secara pasti tentang gangguan yang dimiliki. Lalu melakukan Diagnosa atau penentuan gangguan yang dimiliki berdasar hasil observasi. Lalu melakukan prognosis atau perbandingan terhadap bahasa, bicara, irama, kelancaran suara dan menelan. Lalu mulai masuk pada proses terapi yang akan dilakukan dan telah melakukan berbagai persiapan organis, fisiologis, neurologis, psikologis dan environtment pada anak yang mengalami gangguan pada pendengarannya, lalu melakukan habilitasi pendengaran atau memberikan fungsi pendengaran yang seharusnya dimiliki seseorang, khususnya pada bayi atau pada anak yang belum memiliki pengalaman atau kemampuan mendengar sebelumnya.
Pemberian kemampuan pendengaran dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan Amplikasi (Pengerasan suara), Auditory training (Latihan mendengar), dan latihan wicara. Lalu melakukan latihan penggerakan organ bicara (oral motor exercise), melatih anak dengan cara membaca bahasa bibir (lip reading), latihan penempatan articulator dan melakukan berbagai terapi kearah yang akan dicapai sehubungan dengan gejala dan berhubungan dengan nilai bahasa dan bicara.
Anak yang mengalami gangguan pendengaran sebaiknya di lakukan latihan-latihan mendengar dan latihan wicara pada ahli terapi wicara. Selain dilakukannya terapai, anak sebaiknya di sekolahkan di sekolsh-sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus untuk menunjang bakat dan minat anak tersebut di masa yang akan datang. Peran serta keluarga dan lingkunganpun sedikit banyak membantu proses perehabilitasian pada anak tersebut agar anak tersebut dapat berkembang secara cepat dan memiliki kemampuan seperti layaknya anak normal seperti lazimnya. 


Bab III Penutup

Kesimpulan
Tuna rungu dan tuna wicara adalah suatu bagian yang saling berkaitan. Tuna rungu akan mengakibatkan tuna wicara apabila tidak ada bahasa yang dikuasai sebelumnya sehingga anak yang mengalami tuna rungu identik dengan tuna wicara. Tuna rungu pun belum tentu bisa dipastikan tuna wicara karena ketunarunguan dialami ketika anak sudah mengenal bahasa dan apat disosiasikan sehingga ia bisa menerapkan , memahami dan mengaplikasikan setiap kata yang telah ia miliki dengan kata-kata baru yang belum sempat ia miliki.
Anak yang menderita ketunarunguan memliliki postur tubuh normal dan memiliki intelegensi seperti anak-anak normal lainya namun memiliki kekurangan pada pendengarannya dan kosa kata yang dia miliki cukup kurang anak yang menderita ketunarunguan mengalami keterlambatan bahasa, sehingga sering menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi sehingga kurang bahkan tidak tanggap jika diajak untuk berkomunikasi, dan memiliki ucapan kata yang tidak jelas dan cenderung sengau.
Tuna rungu dapat dibantu dengan menghadirkan kepadanya ahli-ahli yang menjadi ruang lingkup ketunarunguan seperti audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus tuna rungu dan tuna wicara, guru, speech therapist, physico therapist, dan semua orang yang berada dilingkungannya karena hal itu cukup berpengaruh. Strategi pendidikan yang cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat, membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Karena anak yang mengalami kekurangan biasanya kurang percaya diri, sehingga mengalami keterlambatan bicarasehingga cenderung mengasingkan diri dan diasingkan oleh orang disekitarnya dan keluarganya. Sebaiknya anak yang mengalami kekurangan diajak bergabung dan bersosialisasi agar memudahakan kondianak untuk beradaptasi, dan tidak merasa minder dengan kekurangan yang dimilikinya sehingga faktor lingkungan cukup berpengaruh dalam optimalisasi pada anak yang mengalami kekurangan pada pendengarannya.

Daftar Pustaka

http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/798
Bastable, S. (1997). Nurse as Educator: Principles of Teaching and Learning. Boston: Jones and Bartlett Publishers.
Geniofam. (2010). Mengasuh & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Garailmu.
Moories, D.F. (1991). Educational the Deaf: Psychology, Principle and Practice. Boston: Houghton Mifhin Company Prentice Hall Inc.
Sardjono. (1997). Orthopaedagogik Tuna Rungu I (Seri Pendidikan bagi Anak Tunarungu. Surakarta: UNS Press.
Sardjono. (2000). Orthopaedagogik Anak Tunarungu. Surakarta: UNS press.
Somad, P; Herawati, Tati. (1996). Ortopedagogik Anak Tunarungu. Bandung. Depdikbud.
Winarsih, Murni. (2007). Interverensi Dini Bagi Anak Tuna Rungu Dalam Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Direktorat.



PERAN DAN FUNGSI TERAPI WICARA

  1. Peran Terapi Wicara

Terapi wicara mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari hari. Karena pentingnya tersebut terapi wicara sangat dibutuhkan apalagi oleh orang yang mengalami gangguan dalam bicara. Terapi wicara mempunyai peran anatara lain :
1.      Pelayanan
2.      Pengelolaan
3.      Pendidik
4.      Peneliti

a.       Peran Pelayanan
Terapi wicara mempunyai peranan dalam kehidupan yaitu pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya. Peran pelayanan ini mempunyai fungsi antara lain:
Ø  Melakukan identifikasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan terapi wicara
Ø  Melakukan identifikasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan terapi wicara
Ø  Melakukan identifikasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan terapi wicara
Ø  Mengevaluasi proses dan hasil tindakan
Ø  Bekerja sama dengan sejawat dan disisplin yang lain.

b.      Peran Pengelola
Peran ini mempunyai fungsi antara lain :
Ø  Mengelola unit unit kerja
Fungsi ini bermaksud dapat mencakup unit kerja dalam bidang bidang SDM, Sarana dan perlatan, Administrasi, Komunikasi, Pengembangan.
c.       Peran  Pendidik
Peran ini mempunyai fungsi;
Ø  Menyelenggarakan upaya menyebarluaskan informasi.

d.   Peran Penelitian
       Peran ini mempunyai fungsi antara lain :
Ø  Pengkajian masalah
Ø  Identifikasi masalah yang timbul.
Ø  Aplikasi hasil penelitian.
Ø  Evaluasi hasil aplikasi penelitian. 



(Sumber: Bu Henny  ''Dosen Pengantar Terapi Wicara'')